Jalan-Jalan Dadakan dan Berburu Momiji Seharian

Tinggal di Jepang selama setahun tanpa jalan-jalan berasa seperti makan sayur tanpa garam, hambar. Itulah yang kami rasakan ketika harus menerima kenyataan bahwa saya dan Desi hampir dan mungkin tidak akan dapet libur bareng ketika internship. Oh yaa, sebelumnya kenalan dulu yuk sama Desi, orang yang nama dan fotonya sudah dan akan sering nongkrong di beberapa artikel saya yang berhubungan dengan internship dan hidup di Jepang.

Desi, 20 tahun. Mahasiswa STPBI semester 5 yang selama setahun ini menjadi teman hidup dan berbagi suka duka di Jepang. Hampir semua hal kami bagi berdua, makanan yang sering diberikan oleh Bos hotel, berbagi loker, dan patungan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Oh iya, kami juga berbagi keranjang cucian, yang kadang suka nangkring di kamar saya ataupun kamar Desi sebelum salah satu diantara kami memerlukannya untuk mencuci pakaian. Hehehe.

Oke, kembali ke topik semula, kenapa kami jarang dapet libur bareng selama ini? Ada dua alasan : yang pertama Owner ryokan yang kami sebut Okami-san menempatkan kami di restaurant yang berbeda, sehingga hari liburnya pun tentu berbeda. Kedua, staff di ryokan tempat kami internship amat sangat sedikit sehingga 1 hari hanya ada 1 orang yang libur, bahkan kalau lagi ramai tidak ada seorangpun yang libur.

Dari Bulan Juni lalu sebenarnya kami sudah request agar diberi libur bareng 1 – 2 hari untuk menikmati musim gugur dan indahnya warna-warni daun maple yang hanya bisa kami nikmati sekali selama tinggal setahun di Jepang. Namun, karena kedua alasan tadi sampai akhir bulan November belum ada tanda-tanda dapat libur bareng. Hhmmm… pupus sudah punya kenangan dan foto-foto ciamik ala musim gugur di Kuil Kiyomizudera yang terkenal dengan momijinya yang merah merekah. Akhirnya saya berburu momiji sendiri di Kasamatsu Koen yang sebenarnya juga tidak sengaja.

Namun saya masih tidak menyerah. Tanggal 3 Desember 2019 ketika on the way Funaya Shokudo (restoran tempat saya bekerja), saya memberi kode pada Okamisan bahwa kami ingin sekali melihat momiji di akhir musim gugur ini. Yaaa setidaknya pernah fotoan di depan momiji. Akhirnya keesokan harinya jadwal kami tertulis libur bareng tanggal 5 Desember 2019. FINALLY!!!

Sebenarnya sedikit kecewa karena ramalan cuaca hari itu akan hujan dan suhu udara akan mencapai 1 derajat celcius. Sudah terbayang bahwa kami akan menggigil kedinginan. Seakan tidak mau menyia-nyiakan kesempatan melihat momiji di detik-detik terakhir musim gugur, hujan dan cuaca dingin pun kami lawan. Kami membuat rencana dadakan:  melihat momiji di Taman Kasamatsu, naik bus ke Nariaji Temple, belanja bulanan di Nishigaki Su-pa, Lunch di Restaurant Funaya, dan nyantai sambil makan kue di Ine Café.

Keesokan harinya, benar adanya. Langit kelabu dan rintik hujan pun turun menambah dinginnya hari itu. Berangkat pukul 7.39 pagi dari asrama sampai Ine naik bus satu-satunya yang dekat dengan asrama kami  membuat kami sedikit kalang kabut dan terburu-buru. Apalagi sebelumnya , Desi jam 7.25 pagi masih santai di tempat tidur. Duh!! Bisa-bisa ketinggalan bus dan membuat rencana jalan-jalan berantakan dan menjadi tidak nyaman. Alhasil, dengan jurus semenit jadi, Desi hanya mengganti pakaian. Tanpa make-up atau sisiran. Kami buru-buru lari ke tempat pemberhentian bus. Meski buru-buru, untungnya kami masih ingat bawa payung dan sarung tangan hangat.  Jam menunjukan pukul 7.39 . Bersyukur, bus nya belum jalan. Kalau terlambat 10 detik saja mungkin sudah bye bye king 🙁

Kami duduk di baris kedua dari depan. Tempat biasa jika kami naik bus yang juga mengantar anak-anak SD ke sekolah yang letaknya tepat di jantung kota Ine. Mungkin mereka heran melihat penampilan kami yang awut-awutan dengan nafas berderu. Bahkan seorang anak laki-laki yang gembul dan adiknya yang imut memberanikan diri bertanya : “Ayu-chan to Desi-chan, doko ni iku no? (Ayu sama Desi mau kemana?)

20 menit perjalanan dari asrama, kami pun sampai di Ine. Dari sini kami harus menunggu bus jurusan Miyazu yang tiba pukul 8.20. Karena saat itu masih pukul 8 pagi, kami menyempatkan ke Jidouhanbaiki (Mesin penjual minuman otomatis) untuk membeli minuman hangat.

Mesin penjual otomatis di Jepang

Saya juga sempat mengabadikan landscape Ine Boat House (Ine No Funaya) yang berdiri kokoh di tepi Laut Jepang.

Ine No Funaya

Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di dalam bus. Kami sengaja memilih kursi paling belakang, agar bisa duduk lebih leluasa dan yang paling penting bisa touch-up muka yang masih muka bantal, wkwwk. Untungnya saat itu penumpang bus tidak banyak. Hanya ada beberapa warga lokal yang sepertinya akan berangkat bekerja atau ke rumah sakit. Saat itu kamu tidak langsung turun di tempat tujuan momiji, namun menyempatkan ke konbini dan drug store di daerah Otokoyama.

Singkat cerita, kami sudah berada di bawah Taman Kasamatsu. Untuk naik ke tamannya, kami harus naik cable chair lift atau naik cable car.

Tiket round trip untuk cable chair lift dan cable car sebesar 680 yen. Karena kami juga ingin ke Nariaji temple, maka kami membeli tiket yang sudah termasuk tiket shuttle dan tiket masuk ke Nariaji temple seharga 1.800 yen. Tiketnya bisa di beli di loket penjualan tiket manual ataupun di mesin penjual otomatis. Memang ya, bukan Jepang namanya kalau tidak serba otomatis.

Tiket sudah ditangan, saatnya meluncur! Awalnya kami ingin naik cable chair lift agar bisa duduk santai sambil menikmati pemandangan sekitar namun ternyata cable chair liftnya ditutup sementara saat musim dingin. Jadinya kami naik cable car yang berangkat setiap 15 menit sekali. Perjalanan dengan cable car ini hanya ditempuh dalam 5 menit saja.

Cable Car yang berangkat setiap 15 menit sekali

Cuaca sangat tidak mendukung ketika kami sampai di Taman Kasamatsu. Hujan es mulai turun lagi, dan suhu pun turun menjadi 0 derajat celcius. Benar-benar dingin. Selain itu, momiji yang ketika saya datang sendiri seminggu yang lalu masih merah dan indah, kini sudah berubah warna kuning kecoklatan dan mulai berguguran. Kami mengambil beberapa foto.

Daun momiji yang mulai berubah warna menjadi kuning kecoklatan

Ada satu hal yang menarik, daun-daun yang sudah gugur dikumpulkan dan dibuat bentuk menyerupai hati oleh petugas disana. Romantisnya~

Karena hujan mulai deras, kami terpaksa berteduh di dekat pemberhentian shuttle bus ke Nariaji Temple. Beberapa menit shuttle bus yang akan membawa kami ke Nariaji Temple tiba. Tanpa basa-basi kami langsung masuk ke dalam bus, heater di dalam bus lumayan menghangatkan. Semenit kemudian bus berangkat menuju Nariaji Temple. Jalan menuju Nariaji lumayan menanjak dan terjal. Kalau jalan kaki tentu sangat melelahkan. Memang lebih baik naik shuttle meskipun harus merogoh kocek sedikit lebih banyak.  Perjalanan ditempuh sekitar 10 menit. Kami disuguhkan dengan pemandangan alam yang masih asri dan daun momiji yang sudah berguguran sepanjang perjalanan. Tentu pemandangannya menjadi lebih indah jika saja kami perginya dipertengahan bulan November.

Setelah sampai di puncak, atas instruksi dari sopir bus kami turun di depan tangga menuju kuil Nariaji. Kabut tebal mewarnai langit siang itu. Cuaca benar-benar sangat tidak bersahabat dan kami benar-benar mulai kedinginan. Terutama sepatu kami yang basah membuat badan semakin tidak nyaman. Namun karena sudah dipuncak, kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Cuaca dingin kami tembus, bahkan kairo (penghangat portable) yang dibeli Desi di drug store terpaksa harus dikeluarkan padahal sebenarnya itu untuk stock musim dingin nanti. Sembari menahan dingin kami menaiki tangga satu persatu menuju kuil. Kuil Nariaji merupakan kuil  yang telah ada sejak tahun 704 masehi silam. Mitos yang dipercaya hingga kini oleh banyak masyarakat Jepang ialah siapapun yang bertandang kesini maka segala permintaannya akan terwujud. Di dalam kuil terdapat tempat sembahyang dan lampion berwarna kuning keemasan yang menambah indahnya kuil itu. Kami menyempatkan untuk berdoa sebentar disana.

Selain kuil utama, daya tarik lain dari kuil ini adalah pagoda lima tingkatnya yang berdiri dan menjulang megah. Disekitar pagoda inilah banyak sekali pohon maple yang daunnya sudah berguguran. Sekali lagi kami menyayangkan keterlambatan kami mengunjungi spot momiji terbaik di kawasan Miyazu Kyoto utara ini. Tapi tak apa, pemandangannya juga tak kalah menarik meski kabutnya tebal. Berikut beberapa foto-foto yang sempat kami abadikan.

Kuil Nariaji dengan 5 pagoda

Setelah puas foto-foto, kami kembali ke tempat pemberhentian bus semula dan menunggu shuttle datang menjemput kami. Tak menunggu lama, bus datang menjemput dan mengantar kami kembali ke Kasamatsu Koen. Bye-bye Nariaji, semoga saat musim semi nanti kami bisa menikmati indahnya sakuramu.

Sampai di Kasatmasu Koen, kami langsung menuju ke tempat cable car. Sembari menunggu keberangkatan selanjutnya, kami menghangatkan badan pada heater yang disediakan. 15 menit selanjutnya kami naik ke cable car yang membawa kami turun.

Sampai di bawah, kami menyempatkan ke Nishigaki Su-pa yang terletak di seberang jalan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Kami sedikit terburu-buru karena bus yang kembali ke Ine dijawalkan datang sekitar 30 menit. Jika kami kelamaan belanja dan terlambat, maka kami harus menunggu 1 jam lagi untuk naik bus selanjutnya. Berhubung kami masih ada tujuan selanjutnya, kami tidak mau sampai terlambat dan harus menunggu 1 jam lagi.

Setelah belanja, kami langsung buru-buru ke noriba terdekat menunggu kedatangan bus ke Ine. 2 menit kemudian busnya datang. Tapi sayang sekali waktu itu penumpang sangat ramai sehingga di dalam bus lumayan sesak. Tidak ada tempat duduk yang kosong sehingga kami terpaksa berdiri sampai ada yang turun di pemberhentian selanjutnya.

30 menit berlalu, kami sudah sampai di Funaya No Sato Koen (Taman Funaya). Disini kita bisa melihat Ine Boathouse yang berjejer di tepi Laut Jepang dari ketinggian. Di tempat ini juga ada banyak restoran. Salah satunya Funaya Restoran tempat Desi bekerja. Kami memang berencana untuk makan siang disini.

Selain kepiting dan rajungan, Yellow tail fish atau Buri dalam Bahasa Jepang merupakan salah satu hasil laut yang banyak ditangkap dan disantap saat musim dingin. Dagingnya yang lembut dan juicy sangat kaya akan protein omega 3. Biasanya ikan ini dimasak dan dihidangkan sebagai hot pot (nabe) khas Jepang yang lengkap dengan sayuran, Shabu-shabu, sashimi, buri teriyaki, dan buri daikon. Seperti makanan yang saya santap kali ini adalah Buri Shabu Teishoku. Benar-benar lezat~~ Sedangkan Desi memilih untuk makan Tonkatsu Teishoku. Olahan daging babi yang digoreng tepung ditambah dengan saus tonkatsu yang enak.

Setelah menikmati makan siang, kami meluncur ke tempat tujuan terakhir, yaitu Ine Café. Tidak sulit menuju kesana, cukup dengan menuruni 200 anak tangga dari Funaya No Sato Koen, kami sudah sampai di Ine Café. Segera kami masuk dan memesan kue dan teh. Nikmatnya~~

Kue di Ine Cafe

Itulah sedikit cerita musim gugur kami di Jepang. Meskipun serba dadakan dan cuaca yang kurang bersahabat, kami tetap menikmati jalan-jalan ini. Bagi kami musim gugur akan selalu menjadi musim yang istimewa dan penuh warna. Semoga suatu saat nanti kami bisa menikmatinya dengan cara yang lebih indah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.