Drama Gong merupakan seni teater tradisional Bali Yang hidup dan berkembang sejak tahun 1966. Kemunculan seni teater ini begitu berarti bagi masyarakat Bali karena setelah peristiwa G 30 S/PKI pada tahun 1965, masyarakat tidak berani menyelenggarakan pentas seni yang notabene selalu dipentaskan setiap ada upacara agama yang besar di Bali.
Saya jadi ingat, kakek saya pernah cerita kalau tahun 1965 itu keadaan Bali begitu mencengkam. Suasana hari raya pun jadi sunyi senyap. Makanya, ketika Drama Gong kian populer, kakek saya selalu menjadi penonton setia yang selalu hadir saat ada pementasan drama Gong di Pesta Kesenian Bali setiap tahunnya.
Tahun 1970-an adalah masa kejayaan seni pertunjukan drama gong di Bali. Seni pertunjukan drama Gong ini pun melahirkan para seniman yang hingga kini masih memiliki tempat di hati pencinta drama gong, seperti Petruk, Dollar, Dadap, Lodra, dan Cedil.
Sampai akhirnya popularitas drama gong semakin lama semakin menurun akibat pengaruh modernisasi. Generasi muda pun enggan melestarikan pentas seni teater satu ini dengan berbagai alasan : tidak punya bakat, malu tampil di depan umum, tidak bisa bertutur dengan Bahasa Bali yang baik dan lain sebagainya.
Apalagi semenjak semakin menuanya seniman Drama Gong, eksistensi pertunjukan seni teater khas budaya Bali ini kian pudar. Padahal, ada banyak sekali pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang tersirat di dalamnya.
Melestarikan Budaya Bali Dengan Turut Terlibat Dalam Pentas Drama Gong “CUPAK GERANTANG”
Sebagai generasi muda, saya tergerak untuk bisa melestarikan seni pertunjukan tradisional ini dengan berbagai cara. Yup! Saya adalah salah satu generasi muda yang sangat menyukai Drama Gong dan tidak ingin seni drama tradisional ini benar-benar punah di masa yang akan datang.
Meskipun tidak pernah menonton secara langsung, sejak tahun 2015 pertunjukan seni yang legendaris ini sering saya saksikan melalui youtube dengan memanfaatkan Wi-Fi IndiHome di sekolah, internetnya Indonesia yang kencengnya bukan main.
Saking kencengnya, saya sering download video-video drama gong yang kemudian saya tonton kembali di rumah. Syukurlah, kehadiran dan manfaat internet sudah kami rasakan. Telkom Indonesia bekerjasama dengan sekolah saya dalam menyediakan jaringan WiFi IndiHome yang bisa dimanfaatkan oleh semua siswa waktu itu.
Akhirnya, tahun 2018 merupakan tahun yang akan selalu saya ingat seumur hidup. Pasalnya, tahun tersebut adalah tahun dimana saya terlibat dalam pentas seni Drama Gong. Rasa bangga bukan main ketika saya terpilih sebagai salah satu pemeran utama yang memerankan tokoh seorang Ibu yang lemah lembut. Drama Gong itu berjudul “CUPAK GERANTANG”
Cupak Gerantang merupakan pertunjukan teater rakyat tradisional khas Bali yang menceritakan kehidupan kakak beradik yang memiliki perbedaan karakter yang sangat jauh, bagaikan langit dan bumi. Sang kakak bernama Cupak dan adiknya bernama Gerantang.
Cupak mencerminkan semua sifat buruk pada diri manusia seperti rakus, malas, iri dengki, sering kali berkhianat bahkan suka mencuri. Karakternya pun digambarkan dalam penampilan yang buruk rupa, berbadan gendut, dan gerak geriknya mencerminkan sifat sombong.
Sedangkan Grantang digambarkan sebagai seseorang yang rendah hati, jujur, rajin, budi pekertinya baik, dengan tutur kata yang sopan. Karakternya pun digambarkan sebagai pemuda yang tampan, bertubuh bagai kesatria yang tegap, gagah, namun dengan gerak gerik yang halus. Gerantang selalu memiliki rasa kesabaran yang tinggi setiap kali sang kakak berusaha untuk mencuranginya.
Tokoh Ibu dalam drama gong Cupak – Gerantang yang saya perankan memiliki sifat keibuan, ulet, dan penyayang. Namun sayangnya, ketika Cupak memfitnah Gerantang, Sang Ibu malah naik pitam dan tak segan mengusir Gerantang dari rumah.
Setelahnya, Sang Ibu pun menyesal dan mencari anaknya ke hutan dengan perjalanan yang penuh lika-liku.
Nilai Karakter dan Pesan Moral Pada Drama Gong Cupak Gerantang
Pertunjukan drama gong memperlihatkan dengan jelas sifat hitam dan putih melalui tokoh-tokohnya yang digambarkan melalui paduan cerita yang dramatik. Meskipun berfungsi sebagai hiburan, di dalamnya terdapat juga pesan-pesan moral yang mengacu pada kitab Hindu.
Seperti halnya nilai karakter dan pesan moral yang disampaikan melalui Drama Gong Cupak Gerantang, yaitu : dalam hidup ini kita harus selalu berusaha bersikap baik, jujur, dan ikhlas. Buanglah sifat negatif karena pada akhirnya sifat negatif itulah yang akan membawa kita dalam kesengsaraan.
Selain menyampaikan pesan moral dalam balutan konflik yang dikemas dengan sangat apik, Drama Gong juga berisi lelucon-lelucon yang sifatnya mendidik.
Berperan sebagai karakter “Ibu” dalam Drama Gong Cupak Gerantang membuat saya bisa mempelajari banyak hal, terutama bagaimana cara menghidupkan karakter seorang Ibu yang lembut namun tegas. Oleh karena dialognya menggunakan Bahasa Bali, saya juga jadi lebih memahami Bahasa Bali dari tingkatan yang kasar hingga Bahasa Bali yang paling halus sekalipun.
Penggalian karakter pun kami lakukan dengan cara eksplor dan nonton video para seniman Drama Gong di internet, tentunya dengan memanfaatkan IndiHome, internetnya Indonesia yang dipasang pada banjar tempat kami latihan.
Sungguh ini merupakan pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Semenjak saat itu, saya semakin tertarik memerankan tokoh dalam pentas drama gong. Setahun setelahnya, saya juga ikut berperan sebagai tokoh putri kerajaan dalam Drama Gong yang berjudul “Bungkak Mas”
Kini sudah 3 tahun berlalu. Semoga suatu saat nanti saya bisa memainkan karakter drama gong dan ikut pentas drama gong kembali.